Senin, 29 Maret 2010

Kearifan Ulama' Tanah Jawa


Di Jawa ada Kiyahi namanya Kiyai Hasan, daerah Kraksan. Beliau itu termasuk wali Allah yang luar biasa. Kalau beliau mau kedatangan Ahli Bait, keturunan nabi, Habib, beliau lari menjemput sambil berkata ada raihatul musthafa, ada bau harum badan Rasulullah Saw. Padahal kuturunan nabi itu entah baru sampai dimana.

Diantara Karamahnya. Suatu ketika, saat ada seorang haji menyewa mobil, kebetulan yang jadi sopirnya Ahli Bait (Habib/Syarif). Cuma haji ini tidak tahu kalau itu adalah Ahli Bait. Kiayi Hasan bilang sama anak-anaknya: tolong kamar tidur dirapikan kita mau kedatangan Habib. Habibnya siapa? Tanya putra kiyahi Hasan. Nanti saya tunjukan kalau sudah datang, jawab kiyahi itu.

Setelah haji itu tiba dirumah kiyahi Hasan, kiyahi Hasan bertanya pada haji itu, Haji supirmu dimana? Sopir kula asaren kiyai, Sopir saya tidur Kiyai, Jawab Haji. Kiyahi balik bertanya, e'ka'emmah (dimana)? Di Mobil Kiyahi, jawab Haji. Saya mau dekati dia boleh ya, kiyahi meminta ijin.

Yi tangi Yi' (Habib bangun Bib). Sopir itu kaget, karena seumur-umur tidak ada yang manggil Ayi', atau Habib. Akhirnya dikenal dengan bangsa al Jufri. Kiyahi Hasan ditanya: darimana tahu sopir itu Habib? Dari bau keringatnya, bau keringat kangjeng Nabi, kata kiyai Hasan.

Itu hebatnya ulama-ulama kita dahulu, sejauh itu pandangannya, dari hormatnya pada Ahli Bait Nabi. Dan tokoh-tokoh itu bukan satu dua, Imam Subki, Qadhi Iyadh tahu bagaimana kedudukan Ahli Bait an Nabi dan juga ulama-ulama lain, ujar Al Habib M. Lutfi bin Ali Yahya.

Pengalaman Tasawwuf Ala Al Habib Luthfi bin ali bin yahya


pandangan-pandangan Al-Habib tentang tasawuf

Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu melepaskannya dengan tangan kiri.

Bagaimana kita masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan kaki kanan. Artinya bagaimana kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah merupakan bagian dari tasawuf.

Bukankah hal semacam itu sudah diajarkan orang tua kita sejak kecil?
Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf. Hanya saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf. Mereka terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka menerima pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan kanan dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan tuntunan Nabi SAW.

Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini kita tahu kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi. Itu adalah tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlaqul karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana adab kita terhadap kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan teman sebaya, bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita. Bagaimana adab kita terhadap lingkungan kita.

Termasuk ucapan kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah kita. Kepada anak-anak kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener menjaganya agar jangan sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat kepada mereka. Sebab ucapan itu yang diterima dan akan hidup di jawa anak-anak kita.

Bagaimana sikap kita berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang sudah carut maut?
Mampukah ketika kita berhadapan dengan lingkungan yang demikian itu? Ketika kita asik-asiknya bergurau, maka berhentilah sejenak. Kita koreksi apakah ada sesuatu yang kurang pantas? Agar hal yang demikian itu tak dicontoh atau ditiru oleh anak-anak kita. Itu sudah merupakan tasawuf. Jadi dalam rangka pembersihan hati, bisa dimulai dari hal-hal kecil semacam itu.

Lalu kita tingkatkan dengan tutur sikap kita terhadap orang tua. Ketika kita makan bersama orang tua. Janganlah kita menyantap lebih dahulu sebelum bapak-ibu kita memulai dulu. Janganlah kita mencuci tangan dahulu sebelum kedua orang tua kita mencuci tangannya. Makanlah dengan memakai tangan kanan. Dan jangan sampai tangan kiri turut campur kecuali itu dalam kondisi darurat. Sebab Rasulullah tak pernah makan dengan kedua tangannya sekaligus. Ini sudah tasawuf.


Apa yang sebenarnya menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf?
Yang menarik, karena tasawuf itu mengajarkan pembersihan hati. Saya ingin mempunyai hati yang sangat bersih. Jadi tak sekedar bersih tidak sombong karena ilmunya, tidak sombong karna setatusnya, tidak sombong karena ini dan itu. Namun hati ini betul-betul mulus, selalu melihat kepada kebesaran Allah SWT yang diberikan kepada kita. Itu karena fadhalnya Allah SWT.

Sehingga kita tidak lagi mempunyai prasangka-prasangka yang buruk, apalagi berpikiran jelek dalam pola pikir dan lebih-lebih lagi di hati. Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub, yakni untuk membersihkan hati. Jika hati kita ini bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi-halangi hubungan kita kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga kita senantiasa mengingat Allah.

Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena karatan yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan, sehingga cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi. Na’udzubillah kalau sampai hati kita seperti itu.

Lantas dari mana kita mesti memulai untuk pembersihan hati tersebut?
Ikutlah dahulu ajaran fiqih yang tertera dalam kitab-kitab fiqh. Seperti arkanus shalat (rukun-syarat sholat), lalu adabut shalat, adabut thaharah dan seterusnya. Marilah itu semua kita pelajari dan kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Ketika kita diundang untuk menghadiri acara walimah di sebuah gedung misalnya, maka kenakanlah pakaian yang bagus-bagus.

Sebab itu demi menghormat dan untuk menyaksikan kehalalan kedua mempelai di pelaminan. Untuk menghormati acara tersebut, kita menggunakan pakaian yang rapi. Sebab pada hakikatnya, kita telah menghormati Allah SWT yang telah menghalalkan hal tersebut.

Kita juga menghormati yang telah mengundang kita, serta menghormati sesama kita dalam gedung atau dalam jamuan tersebut. Kalau kita bisa menyaksikan aqdun nikah (akad nikah) secara demikian, mengapa kalau kita menghadap langsung kepada Allah SWT, tidak pernah melakukan penghormatan yang demikian itu?


A-Habib dikenal sebagai mursyid thariqah, tetapi kelihatan gemar memainkan alat musik?
Di sana kita akan menemukan kekaguman. Ilmullah yang ada dalam music itu sendiri. Diantaranya notnya itu hanya ada 7; do re mi fa sol la si do, do si la sol fa mi re do. Sedangkan oktafnya ada 7, suara miringnya 5, jadi ada 12. Yang memakai adalah di seliruh dunia, dan mengeluarkan lagu yang beragam. Itu merupakan satu hal yang sangat menarik.

Ketika orang mendengarkan musik, mereka bisa menangis dan tertawa, bersedih dan bersuka ria. Nah, yang berupa benda saja bisa menghasilkan efek semacam itu. Lantas bagaimana kalau kita tengah mendengar lantunan ayat Al-Qur’an sedang dibacakan? Mesti akan jauh lebih dari itu.

Sabtu, 27 Maret 2010

KH.AHMAD ASRORI AL-ISHAQI


MENYATUKAN UMMAT LEWAT THARIQAH

Beliau masih muda. Namun, Surabaya dan Jawa Timur bahkan seluruh Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara seperti dalam genggaman pengaruhnya, itulah KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi putra keenam KH. Utsman asal Kedinding Lor Surabaya Jawa Timur.

Minggu pagi akhir bulan Pebruari tahun 2006 lalu kawasan Lapangan Mataram Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh masyarakat yang ingin berolah raga ringan, berbelanja dan sekedar jalan jalan untuk menikmati udara pagi, hari itu tampak lain dari hari-hari minggu sebelumnya. Puluhan keamanan sejak subuh disibukkan oleh kehadiran puluhan ribu masyarakat berbaju putih putih dari berbagai penjuru kota di Jawa untuk mengatur arus lalu lintas. Saking padatnya, Jalan Wilis dan Sriwijaya merupakan jalur utama jurusan Semarang Jakarta harus ditutup total selama 24 jam dan disulap menjadi area parkir kendaraan roda dua dan empat atau lebih. Bahkan malam sebelumnya puluhan rombongan bis bis pariwisata dan reguler serta ratusan kendaraan pribadi sudah memasuki wilayah Kota Pekalongan yang terkenal dengan industri batiknya menuju satu titik, yakni Lapangan Mataram. Ada apa gerangan ?

Di Lapangan Mataram inilah tidak kurang dari lima puluh ribu kaum muslimin dan muslimat, dari anak-anak hingga orang dewasa dari berbagai penjuru tanah air secara bersama sama melakukan kegiatan istighotsah, manaqib Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa dan tahlil akbar dalam rangka “Haflah dzikir, Maulidurrasul dan Haul Akbar Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa.” yang dipimpin langsung oleh ulama kharismatik penyejuk ummat asal Kedinding Lor, Semampir, Surabaya Jawa Timur, yakni KH. Ahmad Asrori Utsman Al Ishaqi.

Suara gema istighotsah dan tahlil akbar mengguncang langit Kota Pekalongan di pagi hari menembus cakrawala hingga radius dua kilometer. Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh hiruk pikuk masyarakat sibuk dengan urusannya masing masing, hari itu ikut larut dalam gema istighotsah dan tahlil. Apalagi kegiatan ini disiarkan langsung oleh tiga radio yang sudah punya nama di Kota Pekalongan dan Batang, yakni Radio Amarta FM, Radio Abirawa Top FM dan Radio PTDI Walisongo, maka lengkaplah suasana di pagi hari yang cerah dengan busana putih putih di atas hamparan rumput hijau dengan menyebut asma Allah hingga ribuan kali sampai menggetarkan kalbu yang gersang oleh kondisi zaman.

“Kegiatan bertaraf internasional ini diselenggarakan tidak hanya semata-mata mendo’akan istri Rasulullah SAW Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro saja, akan tetapi juga mendoa’akan sesepuh para ulama, syuhada’ dan sholihin serta ummat Islam yang telah ikut berjasa dalam pengembangan agama Islam di wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya”, ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Jama’ah Al Khidmah H. Hasanuddin, SH. kepada NUBatik Online. Maka, tidaklah mengherankan jika masyarakat begitu antusias mengikuti acara yang baru pertama kali digelar di Kota Pekalongan.

Bayangkan saja, lapangan Mataram yang cukup luas itu disulap oleh panitia menjadi arena berdzikir bak tenda besar. Seluruh lapangan tertutup rapat oleh tenda tidak kurang dari 250 set layos (tratag) dan di dalamnya membentang panggung raksasa ukuran 50 x 16 meter persegi dengan dekorasi yang cukup mewah. Untuk persiapannya saja, memerlukan waktu tiga hari memasangnya dan pihak panitia mendatangkan secara khusus panggung dan dekorasi dari Ponpes Al Fithrah Semarang.

Bahkan untuk mengcover arena agar seluruh peserta dzikir dapat mendengar dengan baik, pihak panitia mendatangkan secara khusus sound system berkekuatan 30 ribu watt dari Malang Jawa Timur yang diangkut satu truk tronton, di tambah dengan 6 set sound system lokal dengan kekuatan masing masing 3 ribu watt, sehingga peserta / pengunjung yang hadir dapat mengikuti acara demi acara dengan baik dan khusu’, saking besarnya kekuatan sound system, acara tersebut dapat didengar hingga radius 2 kilometer.

Mayoritas jama’ah yang hadir memang datang dari seluruh pelosok Jawa Tengah. “Kami sengaja hadir di majelis ini, karena pada tahun ini hanya diselenggarakan di Pekalongan”, ujar Mukminin asal Jepara. Dirinya membawa beberapa bis untuk mengangkut rombongan asal kota ukir Jepara. “Kegiatan tahun kemarin di Kabupaten Demak kami juga membawa rombongan lebih besar, akan tetapi karena kali ini agak jauh maka tidak banyak yang kami bawa” kata pemuda yang masih lajang ini. Hal senada juga diungkapkan Rohman pimpinan rombongan asal Grobogan dan Nur Kholis asal Salatiga. Selain Jawa Tengah, tidak sedikit pula rombongan berasal dari Jawa Timur, Madura, Jawa Barat dan Jakarta. Hal ini terlihat dari kendaraan berplat nomor AG, L, W, N, B dan lain lain. Bahkan juga hadir puluhan jama’ah asal mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Timur Tengah.

Rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung di sekitar Lapangan Mataram seperti Gedung Wanita, Kantor MUI, Balai Kelurahan Podosugih, Balai Kelurahan Bendan, Rumah Singgah Dupan Mall, Gedung Balai Latihan Kerja (BLK), serambi-serambi Masjid, Musholla hingga ruko berubah fungsi menjadi tempat penginapan. “Saya setiap pagi selalu mendengarkan pengajian Kiai Asrori di Amarta FM, materinya sangat disukai masyarakat dan menyejukkan hati, jadi sangat wajar jika masyarakat sekitar sini dengan antusias rumahnya menjadi tempat penginapan”, kata Ibu Romlah asal Podosugih Kota Pekalongan. Bahkan Paguyuban warung makan Lamongan yang banyak tersebar di kawasan jalur Pantura secara ikhlas menyediakan makanan dan minuman gratis untuk para tetamu yang telah hadir pada malam sebelumnya.


Uswah khasanah

Kalau ada pertanyaan, faktor apa yang mempersatukan mereka, bahkan rela berdesak-desakan selama berjam-jam ? jawabannya ada dua, yaitu Thariqah dan sosok Kiyai Asrori sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.

Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.

Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.

Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.

Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.


Keturunan Rasulullah ke-38

Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang. Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam - Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.


Baiat thariqah

Kini, ulama yang usianya belum genap lima puluh tahun itu menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli thariqah. Karena kesibukannya melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu khusus buat para tamu, yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jama’ah baru maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam pembaiatan, yaitu Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah, tingkat menengah dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi).

Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa khususi yang umumnya dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan.

Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan berbeda dengan thariqah atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika kebanyakan para mursyid setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah sehari-hari diserahkan kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing untuk pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah.

Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada di Slawi.

Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan dakwahnya yang sangat khas dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak atau belum berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan baginya untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah di awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di Kota Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio ternama di Kota Pekalongan dan Batang.

Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama asal Pekalongan, Kiai Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik ketokohannya maupun kedalaman ilmunya.


Jama’ah Al Khidmah sebagai wadah

Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jama’ah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya murid yang berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.

Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembinaannya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah melaksanakan amalan amalan dari gurunya.

Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”. Organisasi ini resmi dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di Semarang Jawa Tengah, dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada orang tua dan guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam, Majelis Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis Memberi nama anak dan lain lain.

H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja dibentuk bukan karena latah apalagi berorientasi ke politik praktis, akan tetapi semata mata agar pembinaan jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun bisa menjadi anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti kegiatan kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari merupakan salah satu bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati oleh berbagai kalangan khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.

Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori, ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan sederhana ini dapat menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh bersama-sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya untuk bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak dilupakan ummat Islam.

Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam. sehingga banyak yang tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang cukup besar. Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut Yaman Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan, sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis ini digelar”, ujarnya usai acara.

HABIB M.LUTHFI BIN ALI BIN YAHYA



Mursyid thariqah sekaligus musisi

Pengajian rutin malam reboan di Kanzus Sholawat (gedung sholawat) Kota Pekalongan baru saja usai, acara yang digelar rutin setiap pukul 19.30 – 22.00 diawali dengan pengajian kitab Ihya Ulumuddin dibawah bimbingan KH. Akrom Sofwan Salah seorang Mustasyar PCNU Kota Pekalongan, merupakan salah satu agenda rutin sejak sepuluh tahun terakhir yang digagas oleh KH Musthofa Bakri, Rais Syuriah PCNU Kota Pekalongan untuk memanfaatkan Kanzus Sholawat yang baru saja selesai dibangun. Sesaat setelah pengajian usai, acara kemudian diisi pengajian dengan materi agama dalam konteks kekinian oleh seorang tokoh yang terkenal dan tak asing lagi di lingkup Pekalongan dan sekitarnya.

Maka tak heran jika yang hadir bukan saja dari Pekalongan dan sekitarnya, akan tetapi dari luar daerah seperti Pemalang, Batang, Tegal dan Brebes secara berombongan menggunakan kendaraan bis maupun kendaraan roda empat lainnya. Mereka rela duduk beralaskan koran di sepanjang jalan dr. Wahidin hanya untuk mendengarkan wejangan dari seorang ulama kharismatik asal Pekalongan, tidak peduli hujan maupun dinginnya malam sekalipun tak menyurutkan langkah mereka untuk sekedar mendapatkan tetesan embun hikmah. Ribuan santri tua maupun muda khusus untuk kaum adam belum juga melangkahkan kaki untuk pulang ke rumah masing masing. Ternyata mereka rebutan salaman dengan sosok ulama kharismatik yang menjadi panutannya dalam kehidupan sehari hari, baik berkaitan dengan masalah agama maupun urusan dunia. beliau adalah Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Bin Hasyim bin Yahya.
Demikian pula setiap Rabu pagi yang dikhususkan bagi ibu ibu dan remaja putri. Ribuan jama’ah duduk bersimpuh mendengarkan dengan tekun dan khidmat kalimat demi kalimat dari ucapan dari seorang ulama kharismatik sebagai pedoman hidup. Bahkan tak jarang diantara mereka menyempatkan bertemu secara khusus di kediamannya meski harus antre berjam jam untuk sekedar berkonsultasi problematika kehidupan sehari hari. Maka rumah mewah di belakang komplek Kanzus Sholawat yang cukup luas pun tak mampu menampung tamu tamu Habib yang datang silih berganti selama 24 jam. Itulah gambaran aktifitas rutin sehari hari Habib Luthfi Bin Ali Bin Yahya, seorang ulama besar yang lahir, dibesarkan dan hidup di Kota Pekalongan.

Seabrek jabatan yang diembannya, tak membuat Habib Luthfi merasa capek dan merasa berat memikul amanah. Saat ini saja Habib Luthfi Bin Ali Yahya baru saja dipercaya menjabat sebagai Ketua Umum MUI Kota Pekalongan untuk yang kedua kalinya dan sebagai Ketua Umum MUI Jawa Tengah. Di samping beliau seorang Mursyid Thoriqoh Sadzaliyah, juga sebagai Rais Aam dari Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah hasil Muktamar Thariqah ke-9 dan ke-10 yang digelar di Kota pekalongan (salah satu Badan Otonom NU).
Berbincang bincang dengan Abu Muhammad Bahaudin Muhammad Luthfi Bin Ali Bin Hasyim Bin Umar Bin Toha Bin Yahya nama lengkap dari Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya sangat mengasyikkan, terutama persoalan kethoriqohan. Menurutnya, sejak kepengurusan Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah dia pegang sudah banyak kemajuan dibanding kepengurusan periode sebelumnya. Hingga saat ini saja telah terbentuk kepengurusan tingkat wilayah sebanyak 28 Pengurus Idaroh Wustho, kemudian tingkat cabang sebanyak 200 lebih Pengurus Idaroh Syu’biyah.

Perkembangan yang cukup pesat ini sungguh sangat menggembirakan, ujar Habib suatu ketika bincang-bincang dengan NUBatik Online. Pasalnya hampir seluruh thoriqoh berjalan dengan baik, seperti Sadzaliyah, Kholidiyah, Naqsabandiyah, Syatariyah, Qodiriyah, Tijaniyah dan lain lain. Indikator lainnya ialah banyaknya kaum muda yang mulai aktif sebagai pengikut thoriqoh, “padahal mereka sebelumnya kenal saja tidak apalagi menjadi pengikut, sehingga kesan bahwa thoriqoh hanya dapat diikuti oleh sekelompok manusia usia lanjut mulai terkikis”.

“Yang mesti dipahami ialah bahwa thoriqoh bukan alat berpolitik dan bukan untuk berpolitik, akan tetapi semata mata untuk mendidik kehidupan manusia agar berdekatan dengan Allah dan Rasul-Nya dan yang terpenting ialah meningkatkan kesadaran sebagai manusia apa kewajibannya sebagai hamba kepada Tuhan dan Rasul-Nya juga sesama manusia”, ujar suami dari Syarifah Salmah Binti Hasyim Bin Yahya “Sekarang ini perkembangan thoriqoh di kalangan anak anak muda cukup menggembirakan, seperti yang saya hadapi di Pekalongan ini, justru yang paling banyak masuk thoriqoh dari anak anak muda”, ujarnya.

Menurut KH. Zakaria Ansor Katib Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan yang juga orang dekat Habib menjelaskan, banyak sudah prestasi yang ditorehkan Habib Luthfi selama menjadi pimpinan salah satu Badan Otonom NU, antara lain berhasil menata organisasi thoriqoh dari Sabang sampai Meraoke, seperti perkembangan thoriqoh di Sumatera Utara dan Sulawesi sangat menggembirakan, bahkan beberapa waktu yang lalu dari Papua minta dikirimi buku buku tentang thoriqoh. Kemudian Habib juga berhasil menertibkan silsilah sanad thoriqoh, di samping itu juga berhasil menebas fanatisme thoriqoh yang berdampak kepada pengerdilan thoriqoh thoriqoh yang lain dan yang lebih penting ialah kegiatan thoriqoh menjadi lebih terbuka, sehingga banyak kaum muda yang berminat. Kesibukan Abah (panggilan akrab Habib Luthfi) akhir-akhir ini meningkat tajam seiring banyaknya permintaan kehadiran yang berkaitan dengan thariqah khususnya di luar Jawa, ujarnya.

Ayah dari As-Syarif Muhammad Bahaudin, As-Syarifah Zaenab, As-Syariyah Fatimah, As-Syarifah Umi Hanik dan As-Syarif Husain ini lahir di Pekalongan pada tahun 1948. Beliau pernah menempuh pendidikan di Ponpes Kliwet Indramayu di usia 12 tahun dan pada saat itu sudah dipercaya kiyai sebagai salah satu ustadznya. Kemudian nyantri di Bendo Kerep Cirebon, berikutnya mondok di Kiyai Said Tegal dan meneruskan nyantri di Kiyai Muhammad Abdul Malik Bin Muhammad Ilyas Bin Ali Purwokerto dan juga pernah mendapat beasiswa ke Hadramaut Yaman selama 3 tahun.

Habib Luthfi tidak saja menjadi idola masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Menjelang Pilpres tahun 2004 misalnya, Habib Luthfi kebanjiran tamu istimewa, disebut istimewa pasalnya tamu tamu yang menyempatkan hadir di rumah Habib Luthfi adalah para calon presiden maupun wakil presiden. Sebut saja Capres Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, Amin Rais, Puan Maharani (Putri Megawati) dan Hamzah Haz. Sedangkan cawapresnya Sholahudin Wahid dan Hasyim Muzadi.

Dari semua yang hadir, rata rata mereka selalu berdalih hanya silaturrahmi biasa, tidak ada misi khusus berkaitan dengan kunjungannya. Akan tetapi aktifitas mereka selalu dibaca sebagai upaya untuk mohon do’a restu dan minta dukungan, apalagi diantara mereka ada yang berbicara empat mata dengan Habib, sehingga mereka bisa diduga kehadirannya untuk keperluan pemilu yang baru saja digelar.

Tamu habib memang datang dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat pemerintah, anggota dewan, pengusaha, seniman, artis hingga rakyat jelata. Dengan tekun Habib Luthfi mendengarkan satu persatu permasalahannya, kemudian beliau memberikan solusi sehingga mereka pun pulang dengan perasaan puas. Hal ini diakui Wakil Walikota Pekalongan yang juga mantan Ketua PCNU Kota Pekalongan H. Abu Almafachir juga santri Habib Luthfi. Selama 40 tahun sebagai santrinya, ada satu hal yang sangat dikaguminya, yaitu dalam hal stamina. Beliau kuat duduk berjam-jam untuk sekedar ngobrol dengan para tamunya, meski tamunya itu tidak beliau kenal, ujarnya. “Abah fisiknya luar biasa, jarang sakit meski aktifitasnya cukup tinggi, padahal makan saja tidak teratur”. Di samping itu, Habib Luthfi tidak pernah membeda bedakan asal muasal tamu. Sehingga ratusan tamu yang datang kediamannya setiap hari, selalu dilayani dengan sabar dan penuh kesungguhan. Kadang mereka harus menunggu berhari hari jika Abah sedang berada di luar kota, ujar H. Fachir selalu memanggil Abah kepada Habib Luthfi.

Pernah suatu ketika, seorang bekas gali (geng pencuri) datang untuk bertobat dan minta diakui sebagai santrinya Habib, tanpa banyak pertanyaan, habib langsung membaiat gali tersebut dan kemudian diterima sebagai santrinya untuk menjadi salah satu murid thoriqoh.

Mauludan agenda rutin tahunan

Untuk mengumpulkan santri santrinya yang saat ini tersebar di seluruh penjuru tanah air, setiap bulan maulud, Habib Luthfi menggelar acara mauludan di samping untuk memperingati hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW, juga untuk mengumpulkan para santrinya yang ribuan jumlahnya. Kemarin misalnya, Acara mauludan yang digelar lebih semarak dibanding tahun tahun sebelumnya, sehingga Presiden RI DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyempatkan hadir secara khusus bersama menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Apalagi beberapa kegiatan penunjangnya seperti nikah masal, pawai panjang jimat dan pentas musik samer El Balasik asal Jember Jawa Timur dua malam berturut turut, menjadikan suasana peringatan terasa lebih hidup.

Bahkan, untuk menjamu ribuan tamu yang hadir pada acara mauludan, Habib Luthfi tidak mengalami kesulitan yang berarti. Pasalnya, segala ubo rampe hidangan seperti kambing, beras, dan lain lain sudah disiapkan santri santrinya dari berbagai pelosok di tanah air. Sehingga panitia tinggal mengatur dan mendistribusikan saat acara berlangsung.

Sebegitu pentingkah acara itu sehingga menjadi daya magnit bagi masyarakat secara luas ? kegiatan peringatan mauludan memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya yang oleh santri santri senior di panggil abah. Sebagai ulama berpengaruh, beliau sering menjadi rujukan pendapat, baik masalah sosial, politik, ekonomi, budaya dan keagamaan. Sehingga rakyat jelata hingga pejabat tinggi pun seringkali datang ketemu beliau untuk sekedar silaturrahmi hingga minta fatwa.

Kegiatan mauludan yang digelar pada tahun 1429 Hijriyah kemarin merupakan kegiatan rutin tahunan santri santri Habib Luthfi. Bahkan jauh sebelumnya telah pula diadakan, meski secara sederhana. Namun sejak delapan tahun terakhir, dimana sejak dibangunnya gedung KANZUS SHOLAWAT yang terletak di Jalan dr. Wahidin Pekalongan, kegiatannya semakin intensif. Tidak saja peringatan mauludan saja yang digelar. Akan tetapi beberapa kegiatan lainnya seperti pengajian malam reboan, Rabu pagi dan Minggu pagi selalu mengisi gedung Kanzus Sholawat.

Musik sebagai hobinya

Suatu ketika Jamal Mirdad seorang seniman musik asal Jepara mampir ke rumah Habib Luthfi. Oleh Habib kemudian diantar ke salah satu sudut ruangan yang berisi seperangkat alat musik dan hasil rekaman suaranya, tampak sekali kekaguman Jamal atas suara dan kreasi musik yang dihasilkan. Pasalnya untuk mencapai tingkat kualitas yang diperlukan hingga masuk dapur rekaman diperlukan berbagai persiapan, ternyata Habib Luthfi tidak memerlukan waktu yang cukup lama.

Sebagai ulama yang sangat disegani oleh masyarakat, terutama di wilayah eks Karesidenan Pekalongan, musik sudah merupakan bagian dari kehidupan Habib Luthfi. Apalagi ayahndanya juga seniman musik yang amat disegani pada waktu itu, sehingga tidak heran jika Habib Luthfi di samping ahli dibidang agama juga mahir memainkan seperangkat alat musik, terutama piano.

Bagi Habib, bermusik adalah sebuah sarana untuk bergaul dengan siapa saja, terutama dengan anak anak muda dan komponen masyarakat yang heterogen, bagaimana membuat daya tarik sehingga mereka mengikuti kita. Apalagi para pendahulu ulama salaf juga pernah menekuni bidang musik, seperti Jamaludin Ar Rumi dengan bermusik dapat lebih mendekatkan diri kepada sang Khaliq.

Musik yang menurut sebagian ulama dianggap haram, justru oleh Habib Luthfi menjadi hiburan sehari hari. Tidak saja sebagai penikmat musik, akan tetapi beliau juga ahli memainkan alat alat musik, terutama alat musik piano / organ. Di rumahnya saat ini saja ada seperangkat alat musik gambus yang siap dimainkan sewaktu waktu. Bahkan untuk mengaktualisasikan hobinya, Habib Luthfi memiliki satu group musik gambus yang biasa disebut “marawis”. Puluhan lagu lagu irama padang pasir mengalun melalui dentingan jari jari seorang ulama besar, siap menyirami kalbu yang gersang oleh denyut nadi kehidupan dunia yang semakin tak menentu.

Bahkan untuk memberikan nuansa lain pada peringatan mauludan, Habib tak segan segan memanggil group musik ternama seperti Balasyik asal Jember Jawa Timur, juga menggelar pentas wayang kulit dengan dalang Ki Enthus Susmono dari Tegal. Maka lengkaplah kehidupan seorang ulama Habib Luthfi Bin Ali Bin Yahya yang ahli dalam bidang agama dan membaur dengan masyarakat dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya. Sesekali dalam waktu senggangnya, dirinya selalu menyempatkan menekan tombol tut tut piano yang berada di salah satu sudut ruangan rumahnya dan mengalunlah dentingan irama padang pasir yang cukup dikenal dan akrab di telinga kita, baik irama klasik maupun modern.

Jabatan jangan dicari

Penempatan kembali muktamar toriqoh ke 10 Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah di Pekalongan pada bulan Maret 2005 kemarin sempat memunculkan kecurigaan dari berbagai pihak dengan ingin tampilnya kembali Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Bin Yahya sebagai Rais Aam Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah. Pasalnya pada muktamar ke 9 lima tahun silam juga telah digelar di tempat yang sama dan menghasilkan Habib Luthfi Bin Yahya sebagai Rais Aam. Meski akhirnya muktamirin sepakat kembali mememilih dan menunjuk Habib Luthfi untuk menjadi Rais Am yang kedua kalinya.

Akan tetapi tudingan itu ditepis oleh Habib Luthfi. Yang jelas keinginan Pekalongan sebagai tuan rumah bukan atas kehendak dirinya, akan tetapi merupakan keputusan rapat pleno pengurus Idaroh Aliyah. Sebenarnya Lampung juga telah menyatakan siap, akan tetapi para pengurus yang sudah sepuh sepuh itu keberatan jika muktamar diletakkan di luar Jawa. Akhirnya Pekalongan kembali ditunjuk sebagai tuan rumah, ujar Habib suatu ketika. Hal ini tak lain adalah semata mata demi kemudahan pelaksanaan saja. Baginya, jabatan merupakan amanah dan tidak bisa diminta minta. Dimanapun tempatnya, dirinya menyatakan siap diposisikan. Pasalnya, seseorang yang ingin berjuang bukan harus pada jabatan ketua umum saja. Artinya, pengabdian dan perjuangan dapat dilakukan seseorang sesuai dengan kemampuannya masing masing dan saya siap mendukung siapapun yang terpilih, ujarnya.

Bahkan pada saat digelarnya Musyawarah Daerah (Musda) MUI Kota Pekalongan, Habib Luthfi tidak berada di Pekalongan, beliau malah sedang ada acara di Jawa Timur. Toh demikian seluruh peserta musda sepakat menempatkan kembali Habib Luthfi menjadi Ketua Umum MUI Kota Pekalongan untuk yang kedua kalinya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More