Senin, 08 November 2010

Bergesernya Mufassirin Dari Masa Ke Masa

   Al-Qur'an Al-Karim adalah sebuah hidangan yang menurut Rasulullah disebut dengan ma'dubatullah. Hidangan dari Allah ini membantu manusia untuk memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang islam dan merupakan pelita bagi semua umat islam dalam menghadapi seluruh problematika hidup. Kitab suci Al-Qur'an memperkenalkan dirinya sebagai hudallinnas (petunjuk bagi setiap manusia) sekalgus berfungsi sebagai mukjizat yang penuh dengan pengetahuan dan petunjuk yang bisa dibuktikan kebenarannya. Lima belas abad yang lalu ayat-ayat Allah itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini yang mampu menandinginya. Bahasanya yang demikian mempesona, redaksinya yang demikian teliti dan mutiara-mutiara pesannya yang demikian agung, telah mengantar pada kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum. Walaupun ada juga sebagaian dari mereka yang menolak. Masyarakat islam dewasa ini juga mengagumi Al-Qur'an , akan tetapi sebagaian dari kita ada yang berhenti dalam pesona bacaan ketika dilantunkan, seakan-akan kitab suci ini diturunkan hanya untuk dibaca. Padahal Allah dalam Al-Qur'an telah menyatakan:
"Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar Ulul albab (orang yang punya akal) menarik pelajaran darinya." (QS. Shaad (38) : 29).
Al-Qur'an juga telah menjelaskan bahwa Rasulullah telah mengadu kepada Allah:
"Wahai Tuhanku ! sesungguhny kaumku/umatku telah menjadikan Al-Qur'an ini sebagai sesuatu yang mahjuro."(QS. AL-Furqon(25):30)
   Kata mahjuro menurut ibnu Al-Qoyyim adalah berarti:
  1. Tidak mengindahkan halal haramnya walau dipercaya dan dibaca.
  2. Tidak menjadikan rujukan dalam menetapkan hukum.
  3. Tidak berupaya memikirkan dan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah yang menurunkannya.
  4. Tidak menjadikan sebagai obat bagi semua penyakit yang merusak pada jiwa.
Adalah kewajiban bagi para ulama' untuk menyajikan hidangan Al-Qur'an ini kepada umat Muhammad sesuai kemampuan mereka. Oleh karenanya dibutuhkan penafsiran yang mudah dicerna dan difahami karena tafsir adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.Dari sini muncullah mufassir  (mufassirin) yang telah berabad-abad keberadaannya. Dalam kitab Thobaqotul Mufassirin, Al-Imam Al-Hafidz As-Syaikh Jalaluddin Abdur Rohman bin Abi Bakar As-Suyuti (849 - 911 H) membagi mufassirin dalam 4 kelompok:
  1. Para mufassir dari golongan Salafi, shohabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in, sebagaimana shohabat Ibnu Abbas dengan tafsir Ibnu Abbasnya / tafsir Tanwirul miqyasnya.
  2. Para mufassir dari para ahli hadits, sebagaimana Al-Imam Al-Jalil Abdul Fida' Isma'il bin Ibnu kasir dengan tafsir Ibnu kasirnya.
  3. Para ahli tafsir dari ahli sunnah wal jama'ah yaitu ulama' yang mengkompromikan tafsir dan ta'wil serta pembahasan tentang ma'anil qur'an, i'robul qur'an dll.
  4. Para mufassir dari mu'tazilah , syi'ah dll seperti Al-Imam Mahmud bin Umar bin Muhammad Az-Zamahsyari dengan tafsir al-Kassyafnya.
Kita harus merasa bangga bahwa diantara ulama' kita  bangsa Indonesia, juga ada yang termasuk sebagai  mufassirin. Tengoklah ulama' kita sebagaimana Al Allamah As Syaikh Muhammad Nawawi Al Jawi dengan karyanya At Tafsir Al Munir, KH.Bisri Musthofa dengan tafsir Ibrisnya, KH.Misbah Musthofa dengan tafsir Iklilnya, Buya Hamka dengan tafsir Al Ahzarnya dan Dr.Quraisy Shihab dengan tafsir Al Misbahnya walaupun dalam muqoddimah at tafsir al munir, As Syaich An Nawawi berkata bahwa tafsirnya semata-mata hasil saduran beliau dari Mafatihul Ghoib, As Sirojul Munir , Tanwirul Miqbas dan Tafsir Abi Su'ud, akan tetapi beliau berhasil menyajikan hidangan untuk umat islam. Pertanyaan di benak kita, mengapa kita tidak bisa seperti mereka? Jawabannya, karena ilmu kita jauh lebih rendah dibandingkan dengan mereka, juga kesibukan duniawi yang menghalangi kita. Al Imam Jalaludin As Suyuti dengan oto biografinya menyatakan "aku telah hafal Al-Qur'an diwaktu umurku belum genap 8 tahunkemudian aku menghafal "Al-Umdah", minhajul fiqh wal ushul dan alfiyah ibnu malik, setelah itu aku sibuk dengan ilmu fiqh dan nahwu dari para kyai besar, bahkan selama 4 tahun aku mengkaji ilmu hadits, bahasa arab serta aku mengembara ke Syam, Hijaz, Yaman, Hidia. Ketika haji aku minum air zam-zam agar diberi Allah keberhasilan dalam beberapa hal, dan sampailah aku kedalam tingkat tinggi  sebagaimana Syaich Sirojuddin Al Bulgini. Bahkan aku diberi allah rizky berupa 7 ilmu secara dalam, meliputi tafsir, hadits,fiqih, nahwu, ma'ani, bayan, badi' ".Sehingga logis sekali bila seorang kyai yang sudah masyhur namanya KH.Mufid Mas'ud pengasuh pondok pesantren Sunan Pandan Aran Jl.Kali urang KM.12 mengatakan , orang sederajat kita menghatamkan dan mendalami tafsir jalalain dan merasa cukup dengannya. Bila anda bertanya mampukah kita sebagai penafsir? Rosulullah menjawab dengan sabdabya: Tidak akan rusak seseorang yang tahu hakikat dirinya, atau ketika sesuatu yang diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran.

Kamis, 04 November 2010

Prinsip-prinsip Adab Dalam Rangka Membangun Bangsa Beradab

1. Menjaga Kehormatan
  • Menjaga Kehormatan Allah
  • Menjaga Kehormatan Nabi Dan Rosul
  • Menjaga Kehormatan Para Auliya' Dan Ulama'
  • Menjaga Kehormatan Sesama Menurut Derajat Masing-masing
2. Memiliki Cita-cita Yang Luhur
Cita-cita luhur dalam kehidupan dunia dan akhirat, yaitu Allah SWT.
Sebagai cita-cita paling luhur. Sehingga seluruh semangat dan hasrat kebangsaan diliputi nilai-nilai keluhuran moral ilahiyah.

3. Berbakti yang baik
  • Mengikuti jejak para nabi dan rosul
  • Tidak mengklaim prestasi, karena segala daya dan kekuatan dari pertolongan Allah SWT.
  • Terbangunnya kebesaran jiwa, karena menghargai Sang Pemberi anugrah dalam setiap gerak dan aktivitas.
4. Melaksanakan prinsip-prinsip utama
  • Tidak mudah tergoda oleh aspek penunjang sedang prinsipnya terabaikan.
  • Tidak meremehkan hal-hal principal.
  • Tidak memiliki hal-hal gampang dengan melupakan gairah perjuangan dan kerja keras.
5. Mensyukuri nikmat
  • Memandang Yang Maha Memberi nikmat, bukan wujud nikmatnya.
  • Senantiasa memendang anugrahNya setiap perbuatan kebaikan.
  • Rasa syukur di tumbuhkan dari kejernihan iman dan tauhid.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More