Dalam agama kita, urusan
mencari pemimpin memang bukan hal yang sederhana,
yang bisa disepelekan dan dipikirkan dengan sambil lalu,
apalagi disikapi dengan pragmatis;
"siapa ngasih uang paling banyak?"
pemimpin memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam kaitannya
dengan pemerintahan. Demikian pentingnya sampai-sampai
ia menjadi elemen ketiga, setelah Allah SWT dan Rosulullah SAW,
yang harus di taati.
Sesuai asas demokrasi yang dianut oleh negara ini, seorang pemimpin kini tidak lagi
ditentukan oleh segelintir orang, tetapi dipilih langsung oleh rakyat.
Sehingga seorang pemimpin, diharapkan benar-benar akan menjadi
perpanjangan tangan dari mayoritas rakyat yang telah memilihnya.
MASALAHNYA, Ternyata hal itu tidak selaras dengan keadaan sebagaian masyarakat yang justru merasa kebingungan dan terombang-ambing dengan sistem itu.
Sebagai imbas dari demokrasi bajang yang dipaksakan penerapanya tersebut, figur pemimpin ideal yang kita harapkan akan sanggup merubah bangsa ini menjadi baldatun toyyibatun wa robbun ghofur , justru kalah oleh mereka yang secara finansial lebih unggul. Akibatnya, banyak orang mulai apatis terhadap siapa dan apa latar belakang pemimpin mereka. Karena, telah belajar dari pengalaman, bahwa siapapun yang menjadi pemimpin, harga beras masih naik, berobat masih mahal dan cari kerja tetap sulit. Artinya, memang hampir tidak ada korelasi yang signifikan antara para pemimpin yang terpilih dan kesejahteraan rakyat.
Sikap apatis masyarakat tersebut menjadi sangat berbahaya manakala pemerintah, dalam hal ini Dewan Legislatif, belum juga membuat peraturan yang lebih eksplisit tentang kriteria seorang figur yang bisa lolos sebagai calon pemimpin.
Cacat Moral
Barangkali memang benar bahwa semua warga negara , julia peres sekalipun memiliki hak asasi untuk memilih dan dipilih menjadi seorang pemimpin di negara yang berasas demokrasi ini. Namun hampir 100 % orang dinegara ini pasti sepakat, bahwa seorang calon pemimpin harus memiliki rekam jejak perilaku yang baik; tidak pernah melakukan hal-hal yang mencederai rasa keadilan dan rasa kesusilaan masyarakat. Juga orang yang memegang teguh ajaran agama.
Oleh karenanya, seorang yang sebelumnya sudah terkenal sebagai bintang film 'panas', penari erotis yang bangga memamerkan aurotnya atau orang yang pernah diketahui masyarakat melakukan perzinahan, perselingkuhan, pembunuhan, korupsi dan tindak kriminalitas lainnya, rasanya bukan figur yang tepat untuk menjadi pemimpin dinegara yang mayoritas penduduknya beragama islam ini.
Toh, kondisi semacam itu juga berlaku di Negara-negara Eropa dan Amerika yang rata-rata masyarakatnya berpandangan sekuler. Di Negara tersebut banyak calon pemimpin yang mengundurkan diri dan tidak terpilih, bahkan jatuh dari kekuasaannya karena terbongkar sekandal cacat moralnya. Tentunya kita masih ingat sekandal perselingkuhan Mantan Presiden Bill Clinton yang akhirnya merusak reputasinya dihadapan masyarakat AS. Dan, yang baru-baru ini terjadi, sekandal seks pendeta-pendeta Vatikan yang membuat Paus Benediktus XVI mendapat kecaman, bahkan tuntutan dari berbagai negara.
Pada intinya, moral adalah persoalan universal yang berlaku bagi seluruh umat manusia. Karena, pada dasarnya setiap manusia dibekali oleh Allah SWT dengan nurani. Sehingga mereka cenderung menginginkan seseorang pemimpin yang baik secara moral, adil dan amanah. Yakni sosok pemimpin yang belum kehilangan rasa malunya, yang menjaga kehormatan dirinya. Pemimpin yang malu kepada Allah SWT ketika melihat rakyatnya kenyang dengan nasi aking, serta malu melihat rakyatnya melakukan kemungkaran yang berujung pada tersulutnya murka dari Allah SWT.
Sebagai Tauladan
Selain itu, keteladanan manjadi faktor utama dalam kepemimpinan. Karena, seorang pemimpin adalah pengemban amanah yang sekaligus menjadi suri tauladan bagi masyarakatnya. Memimpin tidak selayaknya hanya dilakukan dengan serangkaian perintah dan intruksi. Tetapi juga dengan contoh dan perbuatan.
Kesuksesan gaya kepemimpinan Rosululloh SAW dan umat islam generasi awal adalah bukti sejarah yang paling otentik untuk menjelaskan hal itu. Dimana mereka telah berhasil menjadikan diri sendiri sebagai suri tauladan bagi umat islam saat itu. Tetulis dalam Al-Qur'an Surat Al-Ahzab 33:21
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."
Tunggulah Saatnya
Apa yang salah jika artis jadi pemimpin pilitis? tidak ada. Dan, tidak ada pula yang berhak menyalahkanya. Karena, sebagaimana kita ketahui bersama, dalam sebuah negara demokrasi semua orang memiliki hak asasi yang harus dihormati. Artis, seperti halnya politisi, pengusaha, seniman, kontraktor, bahkan sopir angkot sekalipun, layak dan mungkin menduduki jabatan politis. Namun, seorang pemimpin berperan penting dalam upaya menggerakkan bidang ekonomi, pendidikan, politik, budaya, akhlak serta moral masyarakat yang dipimpinnya. Oleh karenanya, pemimpin haruslah dipilih dari orang-orang yang kredible dalam bidang tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, bahwa segala sesuatu harus diserahkan kepada ahlinya.
Demikian juga dengan jabatan politis, harus diserahkan kepada orang yang benar-benar ahli dalam bidang itu. Namun tidak berarti, dari sana dapat ditarik benang simpul bahwa pemimpin seharusnya dari kalangan politis saja, sementara artis atau pegawai tidak bisa. Faktanya, justru para politis-lah yang pertama mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Sehingga kalimat "politisi" itu sendiri seolah-olah berkonotasi negatif.
Persoalan "pemimpin" itu juga menyaratkan kata "ahli". Meskipun bukan ahli secara spesifik dalam bidang tertentu.Tapi, juga tidak menafikan syarat 'adalah, sebagaimana termaktub dalam syurutul imam.
Tanpa mempersoalkan latar belakang seseorang, pemimpin haruslah memiliki track-record yang bersih (dari cacat moral), jujur, adil dan amanah.
Sebagai penutup , marilah kita renungkan bersama kandungan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
"....Apabila suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)-nya
tiba.(HR.Bukhori)"
*dikutib dari majalah KAKI LANGIT